Terbaru

Libido Mendirikan UIII Setelah Adanya UII dan UIN

Pentingkah UIII di saat UII dan UIN masih berada di bawah?


Tekad untuk mendirikan perguruan tinggi Islam di Indonesia kian menguat pada pertengahan 1945. Sidang Umum Masyumi (Majelis Syuro Moeslimin Indonesia) membahas serius gagasan tersebut, meskipun di sisi lain, bangsa ini masih berkutat dengan persoalan yang tak kalah penting: mempersiapkan kemerdekaan di tengah situasi yang belum pasti.

Masyumi merupakan representasi umat Islam di tanah air saat itu. Ia dibentuk pemerintah pendudukan Jepang pada 1943 untuk mengendalikan massa Islam. Namun, Masyumi justru menjadi lini kekuatan tersendiri. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bersatu di bawah panji-panji federasi umat Islam ini.

Masyumi merasa perlu mengambil peran demi membawa kepentingan umat Islam di negara baru yang akan berdiri nanti, termasuk dalam sektor pendidikan dengan level yang lebih tinggi dari sebelumnya. Beberapa pekan sebelum proklamasi kemerdekaan RI diserukan, lahirlah Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta.

Berkat Peran Masyumi 
Dituliskan oleh Yudi Latif (2013) dalam Genealogi Intelegensia: Pengetahuan & Kekuasaan Inteligensia Muslim Indonesia Abad XX, keinginan bangsa ini untuk memiliki universitas Islam sebenarnya telah mengemuka tak lama setelah Belanda hengkang. Pemerintah Jepang sebagai “penguasa” baru sudah menjanjikannya sejak awal 1942 (hlm. 213).

Namun, janji tersebut tidak pernah dipenuhi hingga detik-detik akhir keberadaan Jepang di Indonesia. Masyumi dengan cerdik mengambil momentum ketika Dai Nippon sedang limbung lantaran rentetan kekalahan dari Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya kala itu.

Akhirnya, STI resmi berdiri tanggal 8 Juli 1945 atau 40 hari sebelum proklamasi kemerdekaan (Kartomo Wirosuharjo, PTS Sayang, PTS Perlu Ditimang, 2015:7). Perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia justru lahir dari sektor swasta, karena dimotori oleh Masyumi yang kelak menjelma menjadi partai politik. 

Namun, bukan berarti tak ada unsur “pemerintah” dalam hal ini. Mohammad Hatta, yang nantinya menjadi Wakil Presiden RI pertama, didapuk sebagai Ketua Dewan Pengurus STI (Deliar Noer, Mohammad Hatta: Biografi Politik, 1990:194). Ada pula Mohammad Natsir, Mohammad Roem, KH Wahid Hasjim, dan lain-lainnya yang turut membidani proses lahirnya STI.

Dalam pidato pembukaan STI seperti dikutip dari Api Sejarah 2 yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara (2015), Hatta menyatakan:

“Negara Indonesia Merdeka menghendaki susunan masyarakat yang kuat. Masyarakat yang berdasarkan cita-cita persaudaraan dan tolong menolong. Untuk mencapai masyarakat yang semacam itu, perlulah disempurnakan pendidikan agama Islam.” (hlm. 284).

“Agama Islam,” lanjutnya, “adalah pelita yang sebaik-baiknya untuk menyuluhi jalan rakyat ke dalam masyarakat persaudaraan dan tolong- menolong. Untuk menyempurnakan pendidikan agama Islam, perlu sekali pendidikan tinggi.”

Jelas sudah mengapa keberadaan STI memang sangat dibutuhkan. Selain karena saat itu belum ada perguruan tinggi Islam di Indonesia, bangsa ini, seperti yang dikatakan Hatta, pendidikan Islam diperlukan untuk mencapai susunan masyarakat yang kuat. Hatta dua kali menegaskan “persaudaraan” dan “tolong-menolong” dalam pidatonya.

Dari UII Lahirlah UIN
Tahun 1946, Jakarta dalam kondisi darurat seiring kembalinya Belanda (NICA) dengan membonceng pasukan Sekutu. Maka, ibukota RI dialihkan ke Yogyakarta. Seiring dengan itu, STI yang didirikan di Jakarta juga ikut pindah. 

STI kemudian berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada 22 Maret 1948. Rektor pertama STI, Prof. K.H. Abdoel Kahar Moezakir, tetap menempati jabatannya sebagai pemimpin perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia itu. Ketika ibukota RI kembali ke Jakarta pada 1949, UII tidak ikut, tetap di Yogyakarta.

Dikutip dari buku Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia karya Haidar Putra Daulay (2014), saat pertama kali diresmikan oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, UII memiliki 4 fakultas, yaitu Agama, Hukum, Pendidikan dan Ekonomi (hlm. 100).

Namun, status UII tetap swasta, bukan milik pemerintah. Rezim Sukarno saat itu lebih memilih menguatkan UII ketimbang mendirikan perguruan tinggi Islam sendiri. Maka, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950 tentang Peningkatan Status Fakultas Agama UII menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri atau PTAIN.

Tanggal 1 Juni 1957, Departemen Agama RI mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta. Mahmoed Joenoes, ulama sekaligus tokoh pendidik asal Sumatera Barat yang sejak era pergerakan nasional ditunjuk sebagai ketuanya.

ADIA juga belum bisa disebut sebagai universitas Islam resmi milik pemerintah. Mahmoed Joenoes lalu mengusulkan kepada Menteri Agama saat itu, Wahib Wahab, agar ADIA diintegrasikan dengan PTAIN (Gouzali Saydam, 55 Tokoh Indonesia Asal Minangkabau di Pentas Nasional, 2009:163).

Usulan tersebut disetujui. Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Tahun 1960, maka berdirilah perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia, bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN), hasil peleburan antara ADIA di Jakarta dengan PTAIN atau yang bermula dari Fakultas Agama UII di Yogyakarta.

IAIN semula hanya punya 4 fakultas yang ditempatkan di dua kota berbeda, masing-masing 2 fakultas di Yogyakarta dan Jakarta. Yang di Jakarta kemudian menjadi IAIN Syarif Hidayatullah, sementara yang di Yogyakarta menjadi IAIN Sunan Kalijaga.

Pada perkembangannya, pendirian IAIN lantas menjamur di berbagai daerah di tanah air kendati punya manajemen masing-masing. Sementara UII, meskipun sempat membuka 22 fakultas yang tersebar di sejumlah daerah, akhirnya kembali memusatkan diri di Yogyakarta dengan beberapa unit kampus di bawah satu naungan.

IAIN kemudian bersulih nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta menjadi IAIN pertama yang memakai nama baru tersebut pada 2002, diikuti oleh IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta pada 2004.

Setelah dua institusi pertama itu, menyusul kemudian beberapa IAIN lainnya yang berganti wujud menjadi UIN. Hingga kini, terdapat 17 UIN, sementara yang masih bernama IAIN ada 23. Selain itu, ada pula 18 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). STAIN juga bisa menyandang status UIN jika sudah memenuhi syarat.

Urgensi Mewujudkan UIII
Indonesia sudah punya UIN, IAIN, dan STAIN sebagai perguruan tinggi Islam milik pemerintah yang jumlahnya puluhan. Ditambah pula dengan UII dan ratusan perguruan tinggi Islam dari sektor swasta, baik yang sudah berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, atau sejenisnya. 

Namun, itu rupanya belum cukup. Alih-alih menguatkan kualitas seabrek perguruan tinggi Islam itu agar bisa berdaya jangkau lebih luas serta membanggakan dari segi mutu dan prestasi, pemerintah justru ingin membangun sesuatu yang baru dengan ambisi yang amat tinggi, yaitu Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

Lewat Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2016, rencana mewujudkan UIII akan segera direalisasikan pada awal 2018 ini. Bakal menempati area seluas lebih dari 142 hektare yang berlokasi di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, biaya pembangunan UIII diperkirakan menembus angka 3,9 triliun rupiah.

Dari angka fantastis itu, pemerintah berencana mengalokasikan 600 miliar rupiah dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2018 dan kemungkinan berlanjut pada APBN 2019. Sedangkan kekurangannya akan diusahakan dari sektor-sektor lain.

“APBN kami sediakan Rp 600 miliar untuk tahun 2018 ini. Untuk (APBN) tahun depan belum tahu ya berapanya. Sisanya ada hibah dari negara-negara lain,” sebut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuldjono, kepada media di Jakarta beberapa waktu lalu.

Selain itu, rencana pembangunan UIII sempat menuai protes karena berpotensi mengorbankan rumah cagar budaya peninggalan zaman Belanda di Cimanggis. Sempat menjadi polemik, Wakil Presiden Jusuf Kalla akhirnya memastikan hal tersebut tidak akan terjadi.

Lantas, sejauh mana urgensi UIII sehingga pemerintah tampak amat berhasrat untuk mewujudkannya?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan Indonesia memang memerlukan perguruan tinggi Islam bertaraf internasional demi menjawab permintaan dan kebutuhan global, selain atas nama reputasi Indonesia dalam pergaulan internasional, khususnya dengan negara-negara Islam di dunia.

“Karena menurut beliau-beliau (para pemimpin negara Islam), Islam yang ada di Indonesia ini dalam praktik kesehariannya adalah Islam yang betul,” sebut Presiden Jokowi.

Sejumlah menteri terkait pun kompak mengiyakan. Salah satunya Mohammad Nasir selaku Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti). “UIII ini ditujukan untuk seluruh dunia, bagaimana Islam yang bisa memberikan manfaat bagi kita semua, yang bersifat toleran dan moderat, ini yang dipahamkan,” tandasnya.

Hal senada dikatakan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, yang mengatakan bahwa Indonesia harus punya universitas Islam bertaraf internasional untuk memperkenalkan kepada dunia bahwa Indonesia juga bisa memberikan kontribusi positif dalam menata peradaban global.

Jika pemerintah sangat berambisi membangun UIII, lalu bagaimana nasib beratus-ratus perguruan tinggi Islam lainnya? Mengapa pemerintah tidak memaksimalkan potensi UIN, UII, atau yang lain demi memenuhi hasrat “berperan bagi peradaban Islam dan dunia”?

“... untuk UIN yang ada sekarang, saya rasa juga bisa diprospek untuk jadi lebih berkualitas, salah satunya dengan mengadakan pertukaran pelajar dan belajar Islamologi,” sebut Nur Syam, Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI.

Jadi, terang sudah, opsi menguatkan UIN atau yang lain agar bisa bersaing di level yang lebih tinggi tampaknya bukan menjadi pilihan pemerintah. Membangun kampus baru bertaraf internasional, dengan segala pro-kontra dan konsekuensinya, tetap yang utama demi terjaganya martabat Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia.

"Ada UI, Universitas Indonesia; ada UII, Universitas Islam Indonesia; terus denger-denger Pakde Presiden mau bikin UIII, Universitas Islam Internasional Indonesia," tulis kolumnis dan cerpenis Cepi Sabre di akun Facebooknya. "Kapan orang bisa merasa enough is cukup?"

Pendirian universitas bernama panjang itu bukan kabar burung. Ia kabar sebenar-benarnya kabar. Melalui tangan sakti Presiden Jokowi, tak ada angin tak ada hujan, diumumkanlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia. Perpres itu diteken Presiden Jokowi pada 29 Juni 2016.

Di Pasal 1 ayat (2) Perpres tersebut dijelaskan, “UIII merupakan perguruan tinggi yang berstandar internasional dan menjadi model pendidikan tinggi Islam terkemuka dalam pengkajian keIslaman strategis yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama,” 

Dari mana datangnya gagasan ini?
Menurut Menteri Agama Lukman Saifuddin, ide pendirian kampus yang kurang lebih karena tak mau kalah dengan Malaysia dan Pakistan dengan Universiti Islam Antarbangsa Malaysia dan Universitas Islam Internasional Islamabad yang sudah ada sejak lama. Tapi Menteri Lukman tidak menjabarkan kapan pastinya, dan terkesan seperti datang dari langit.

Menag bilang, “Pemerintah ingin ada universitas Islam bertaraf dunia di Indonesia yang tidak hanya mendalami studi-studi keislaman, tapi sekaligus memperkenalkan kepada dunia bahwa peradaban Islam di Indonesia juga bisa memberikan kontribusi positif dalam menata peradaban dunia.”

Tahu-tahu, mulai awal Juni 2016, hampir semua media besar memberitakan rencana pemerintah ini dan tak ada satu pun yang bertanya apa alasan yang mendesak sehingga harus ada UIII. Dilanjutkan berita-berita dukungan dari berbagai kalangan, baik dari pihak dalam maupun luar negeri. Dan sejauh ini, belum ditemukan pula pengamat atau praktisi pendidikan yang mengkritisinya. Preseden yang cukup ganjil di negara demokrasi. 

Barangkali semua orang telah sepakat, mungkin pula takut atau tidak enak hati untuk sekadar mempertanyakan urgensi UIII. Barangkali semua orang lebih peduli rencana pembangunan ekonomi Jokowi daripada pembenahan urusan pendidikan dan penelitian yang morat-marit di Indonesia. Sehingga ketika pemerintah mau bikin universitas raksasa, tanpa sedikit pun menunjukkan kepedulian memadai untuk meningkatkan mutu riset di Indonesia secara keseluruhan, semua orang manggut-manggut saja. 

Mungkin juga rezim Jokowi betul-betul dicintai sepenuh hati oleh seluruh rakyat Indonesia. Atau mungkin sesederhana benar apa kata Sujiwo Tejo si dalang edan, “Pemimpin tangan besi mematikan nyali. Pemimpin yang dinabikan mematikan nalar.” 

Komaruddin Hidayat, mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, yang terlibat beberapa kali rapat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri sejak sebelum terbitnya Perpres 57, mengatakan bahwa ide pembangunan UIII berasal dari Presiden dan Wapres.

“Kalau berkunjung ke luar negeri, negara luar banyak mengapresiasi kehidupan beragama di Indonesia. Hubungan antar-agamanya bagus, Islam dan demokrasinya berkembang. Dan tokoh-tokoh dunia berharap agar Indonesia menjadi salah satu model dari kehidupan beragama,” kata Komaruddin di kediaman pribadinya di Ciputat, 28 Juli 2016. “Oleh karena itu, salah satu usahanya membangun universitas internasional yang bisa jadi pusat publikasi pengalaman indonesia.” 

Universitas Islam Internasional Indonesia, kata Komaruddin, diniatkan menjadi kontribusi besar Indonesia untuk peradaban. “Menurut Presiden, Indonesia ini kan negara yang mayoritas muslim masak tidak punya pusat kajian internasional. Negara lain saja punya, kok. Malaysia punya, Pakistan, Singapura. Lalu mengapa kita tidak menyumbang?”

Selain, secara politis ini juga sangat bagus bagi pemerintah sebagai diplomasi kultural dan intelektual. “Maka mitranya itu nanti dengan Kemlu. Kalau agama, dengan Kemenag. Keilmuan dengan Kemenristekdikti. Jadi, tiga kementerian itu yang akan mengelola.”

Ketika ditanya mengapa tidak memaksimalkan kampus-kampus yang sudah ada saja untuk keperluan tersebut, sekaligus fokus akselerasi mutu riset, Komaruddin menjawab, di negara mana pun universitas memang ada yang world class dan ada yang untuk kebutuhan lokal. Apakah universitas-universitas Islam yang bertebaran di seantero negeri kurang mumpuni?

“Kalau kita sudah punya mobil Kijang, apa salahnya punya mobil Mercy?” katanya.

“Kalau kita sudah punya anak-anak yang kuliah di dalam negeri, apa salahnya kuliah di luar negeri? Artinya, harus ada pusat komunitas yang punya link ke internasional. Salah satunya juga berfungsi untuk mengenalkan yang ada di dalam negeri. Ini medium untuk memperkenalkan tradisi Islam Indonesia, semacam juru bicaranya. Jadi, bukan saingan.”

Pemerintah pun gerak cepat. Dana Rp. 22 miliar telah disiapkan untuk mendirikan universitas ini. Disiapkan oleh Kementerian Agama: Rp. 6 miliar dari dana penghematan anggaran dinas, rapat, dan honor, Rp. 16 miliar diajukan dalam APBNP 2016. 

Lokasi pembangunan telah ditetapkan, di Cimanggis, Depok, Jawa Barat dengan luas lahan sekitar 142 hektare. "Di tanah aset negara yang dimiliki oleh Radio Republik Indonesia (RRI),” kata Wapres Jusuf Kalla. “Ideal dan strategis karena relatif dekat dengan Jakarta, ada akses jalan tol menuju lokasi." 

Tapi dana Rp. 22 miliar masih jauh dari cukup untuk ambisi besar ini. Selanjutnya, Wapres mengatakan akan membuka penerimaan dana bantuan atau hibah dari luar negeri. 

Senada dengan JK, Komaruddin mengaku untuk mewujudkan kampus impian ini butuh biaya yang tidak sedikit. “Tanahnya saja yang tersedia 142 hektare. Bangunannya paling 1/3 tanah, sisanya 2/3 mungkin lebih diisi lapangan yang luas, taman, arena jogging dan olahraga, agar orang betah di situ. Kami studi banding beberapa kampus luar negeri, kampus di sana kan halamannya luas-luas, membuat nyaman, seperti small city,” katanya.

“Untuk 7 tahun, mungkin Rp. 5-7 triliunlah. Ya, Rp. 5 triliun mungkin cukuplah dan nantinya diharapkan ada donatur ikut bangun.”

JK sendiri menargetkan tahun 2018 UIII sudah berdiri. Tapi menurut Komaruddin, 2018 itu masih jauh dari beres. “2018 bisa saja untuk awal—modal memulai perkuliahan. Mulai kan cukup di ruang kuliah, perpustakaan.” 

Apalagi, Wapres menginginkan arsitektur dan desain kampus yang canggih, dilengkapi fasilitas teknologi termutakhir dan lingkungan yang hijau. "Harus modern dan futuristik, seperti membangun bandara saja." kata JK.

Tentu rencana ini elok belaka, bertujuan mulia, dan karenanya layak didukung semesta. Lagi pula siapa yang merasa enough is cukup dengan Kijang dan tak ingin punya Mercy? 

Ambisi Bangun UIII Saat Akreditasi Kampus Islam di Bawah Standar
Presiden Jokowi berambisi membangun Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Bagaimana kualitas perguruan tinggi Islam selama ini?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menunjukkan ambisinya untuk merealisasikan pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dengan menggelar rapat terbatas, di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (18/1/2018). Pertemuan ini membahas perkembangan pendirian kampus yang diklaim sebagai respons Indonesia terhadap kebutuhan global. 

Jokowi menyatakan, sejumlah pemimpin negara dengan penduduk mayoritas Muslim, seperti Presiden Palestina, Mahmoud Abbas hingga Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam, Iyad Ameen Madani ingin agar para pemuda Timur Tengah belajar tentang Islam di lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. 

Atas pertimbangan itu, kata Jokowi, pembangunan kampus UIII dinilai penting dan perlu untuk segera terealisasi supaya dapat mengakomodasi keinginan tersebut. “Karena menurut beliau-beliau, Islam yang ada di Indonesia ini dalam praktik kesehariannya adalah Islam yang betul,” kata Jokowi, seperti dikutip Antara, Kamis kemarin. 

Hal senada juga diungkapkan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir yang menyatakan UIII akan mengajarkan Islam yang moderat. Target pesertanya, kata dia, dari seluruh dunia, tidak hanya sebatas bagi negara Timur Tengah. 

“UIII ini ditujukan untuk seluruh dunia, bagaimana Islam yang bisa memberikan manfaat bagi kita semua, yang bersifat toleran dan moderat, ini yang dipahamkan,” kata Nasir usai rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, Kamis. 

Kendati demikian, dirinya belum bisa merinci secara pasti kurikulum seperti apa yang hendak diterapkan, karena perlu menunggu rencana program pendidikan yang dikeluarkan Kementerian Agama. 

Begitu usulan program studi sudah diberikan, kata Nasir, barulah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dapat menindak lanjutinya. Menurut Nasir, pihaknya tidak membatasi jumlah program studinya, selama tetap berkonsentrasi pada pemberian Islamic studies atau pemberian bidang-bidang ilmu agama Islam. 

Instruksi pembangunan kampus UIII ini memang diberikan langsung oleh Presiden Jokowi. Tak tanggung-tanggung, perintah pembangunannya sampai dituangkan menjadi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia. Perpres tersebut diteken oleh Jokowi, pada 29 Juni 2016.  

Pada Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa UIII merupakan perguruan tinggi berstandar internasional serta menjadi model pendidikan tinggi Islam terkemuka dalam pengkajian keislaman secara strategis. Masih berdasarkan Perpres itu, UIII berada di bawah kewenangan dan harus bertanggung jawab kepada Menteri Agama. 

Pendirian kampus UIII ini sendiri rupanya bakal mengikuti jejak beberapa negara lain dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, yang telah memiliki lembaga tinggi pendidikan Islam bertaraf internasional. Di antaranya, seperti Universitas Islam Antarbangsa Malaysia dan Universitas Islam Internasional Islamabad di Pakistan.

Akan tetapi, ambisi Jokowi mendirikan Universitas Islam Internasional Indonesia ini menjadi ironis mengingat perguruan tinggi Islam yang ada belum sepenuhnya terakreditasi. Seharusnya, pemerintah lebih memprioritaskan lembaga yang sudah ada, daripada membangun kampus baru yang secara visi dan misi hampir sama.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Akreditasi Institusi Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam Kementerian Agama, misalnya, sampai dengan saat ini sudah ada sebanyak 56 lembaga Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Indonesia. Dari total tersebut, sebanyak 49 lembaga sudah terakreditasi, sementara 7 lembaga sisanya belum. 

Apabila dirinci lebih lanjut, dari 49 lembaga yang sudah diakreditasi tersebut, lembaga yang mendapatkan akreditasi A hanya 3 lembaga (6,12 persen). Sementara yang dapat akreditasi B ada 34 lembaga (69,39 persen), dan 12 lembaga (24,49 persen) memperoleh akreditasi C. 

Di sisi lain, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) jumlahnya berlipat-lipat lebih banyak dari yang PTKIN, yaitu mencapai 691 lembaga. Meski demikian, 465 lembaga ternyata belum diakreditasi, sehingga jumlah yang sudah memperoleh akreditasi baru sebanyak 235 lembaga PTKIS.

Tak berbeda jauh dengan yang PTKIN, jumlah PTKIS yang memperoleh akreditasi A juga relatif sedikit, yakni hanya ada 4 lembaga (1,70 persen). Selanjutnya yang menyandang akreditasi B ada 47 lembaga dan 184 lembaga sisanya berakreditasi C. 

Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Nur Syam berpendapat, kampus UIII disiapkan untuk menyiapkan mahasiswa-mahasiswa yang bisa diakui kemampuannya di tingkat internasional. Selain itu, Nur Syam juga berharap UIII mampu menghasilkan lulusan S2 dan S3 dengan ilmu keislaman yang baik serta moderat.

“Untuk kurikulum dan silabusnya [UIII] sudah dikaji di tingkat nasional. Desain untuk program studinya pun sudah [ada]” kata Nur Syam saat dihubungi Tirto, pada Jumat siang (19/1/2018). 

Sementara itu, saat disinggung mengenai kualitas perguruan tinggi Islam yang saat ini ada, Nur Syam berjanji peningkatan bakal dilakukan seiring dengan berdirinya kampus UIII. Menurut Nur Syam, perguruan tinggi Islam, seperti UIN, IAIN, STAIN bakal berkembang sesuai kapasitasnya, serta lebih fokus pada pendidikan S1 mengingat UIII tidak menyediakan pendidikan untuk strata 1 tersebut.

“UIN tetap dibutuhkan masyarakat, sehingga tidak dimuati tambahan-tambahan. Namun kami juga berharap lulusan UIN bisa tampil di kancah internasional,” kata Nur Syam berharap.

Sumber: tirto.id

Tidak ada komentar